Rumah konsep pesanstren

Melihat Persoalan UAS Lebih Dalam

- Agustus 20, 2019


MELIHAT PERSOALAN "UAS" LEBIH LUAS

Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary

Jika para dai, ustadz, ulama, dicari-cari kesalahannya, kemudian selalu diancam dan dibidik dengan hukum negara. Sementara apa yang mereka sampaikan adalah doktrin ajaran agama dan kepercayaannya.

Bahkan disampaikan internal dan tertutup di lingkungan jama'ahnya sendiri dengan tujuan untuk menjawab dan menjelaskan apa yang memang ada dalam ajaran agama tersebut. Salahnya dimana?!! Tuduhan unsur penistaan agamanya dimananya?!!

Seperti kasus UAS yang dicoba untuk dimunculkan kembali ke permukaan, padahal persoalan itu sudah lama, sekitar 3 tahun yang lalu dan terkesan "expaired" pun jika kasusnya mau dilaporkan juga, maka di sini patut diduga ada motivasi lain dibalik itu.

Pada persoalan pelaporan UAS, di sini kita tidak ada melihat upaya penistaan sama sekali, sebab apa yang beliau jelaskan adalah sebuah analisa jawaban berdasarkan keilmuan, pengetahuan, serta dalil-dalil yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan bersifat spontanitas.

Jika pelaporan tersebut hanya didasarkan oleh alasan "suka" atau "tidak suka" saja, "senang" atau "tidak senang", terhadap konten tausiahnya, maka persoalannya menjadi lain lagi. Jika semua delik hukum hanya dilandasi faktor emosional dan mencari sensasi semata, maka kekacauan dan kegaduhan lah akhir dari semua ini.

Maka hal yang sama juga -oleh para pencinta dan pendukung UAS- tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga akan bisa dilakukan terhadap para tokoh pemuka agama lainnya. 

Kami juga bisa melaporkan para pemuka agama yang menjelekkan Islam di gereja atau tempat kebaktian mereka hanya alasan ketersinggungan dan tidak terima dari sisi sudut pandangan kami.

Meski hal tersebut sama sekali tidak kita harapkan. Sekali lagi, tidak sama sekali kita inginkan. Namun, segala kemungkinan bisa terjadi, bukan? 

Jadilah pada akhirnya, ajaran agama menjadi semacam alat politis untuk saling menyerang dan mengancam. Dimana persaudaraan kita sebagai bangsa? Kapan kita mencapai kedamaian dalam bernegara?

Sekali lagi, dalam hal ini. Negara harus hadir. Negara tidak boleh diam, apalagi membiarkan konflik semacam ini berkepanjangan. 

Lantas dimana kehadiran UUD negara kita, pasal 29 yang menjamin kebebasan dalam menjalankan ajaran beragama? 

Mana peran Kementerian Agama? 
Mana peran dan fungsi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama)? 
Mana peran MUI (Majelis Ulama Indonesia)? 
Mana Peran Pastor? 
Peran Pendeta? 
Dan mana suara para tokoh agama lainnya?!!

So, aparat penegak hukum juga, tidak juga harus selalu menerima laporan-laporan atas para pemuka agama atau tokoh-tokoh agama yang dicoba dikriminalisasi yang kadang diinisiasikan oleh kepentingan tertentu. 

Perlu kejernihan berpikir dan kematangan emosional dalam menyikapi setiap persoalan yang memiliki potensi "conflict of interest" atau resistensi konflik bagi pendukung figur tersebut ke depannya.

Bukan berarti mereka "kebal hukum", sebab diatas kepentingan penegakan hukum dan prinsip "Equality before the Law", ada pertimbangan dan kebijakan yang perlu dikalkulasikan, yaitu faktor sebab-akibat.

Di sini aparat penegak hukum seharusnya juga tidak hanya melihat UAS sebagai pribadi warga negara di wilayah hukum. Lebih dari itu, UAS adalah figur yang memiliki pengaruh publik yang cukup diperhitungkan. Bagi kami UAS adalah "Aset Bagi Bangsa" dan "Aset Bagi Umat Islam".

Lalu apakah dengan memperkarakan UAS persoalan menjadi tuntas?!!

Harus dipahami juga bagi para lembaga penegak hukum bahwa kebijakan prosedural dan birokrasi hukum tidak mesti harus menjadi keputusan final dan solusi terbaik. 

Terkadang persoalan hukum ada yang harus dicapai bersama, yaitu tujuan universalnya, yaitu kedamaian dan persatuan bangsa.

Mampukah stake holder pada perangkat lembaga-lembaga hukum di Indonesia memahaminya persoalan seperti ini?

Dasar hukum di negeri kita, tidak menganut konsep hukum Rechtsstaat, dan tidak pula menganut konsep Rule of Law, akan tetapi berdasarkan hukum Pancasila. 

Seharusnya semua persoalan yang menyangkut umat beragama harus diselesaikan dengan mengedepankan dialog dan saling kesepahaman dalam menyelesaikan persoalan keumatan dan kebangsaan. 

So, di sini negara harus hadir dalam setiap persoalan dan konflik horizontal antar umat beragama. Jika tidak, maka persoalan-persoalan ke depannya hanya akan memelihara api dalam sekam. 

Dalam bangsa yang menganut ke-Bhinekaan yang mengayomi berbagai agama dan kepercayaan, maka konflik ideologis harus segera diselesaikan. Jangan sampai ada celah "Conflict of Interest" yang dipelihara, apalagi sampai dibiarkan.

Kita sudah belajar dari konflik-konflik sebelumnya, semisal konflik di Poso, di Ambon, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Kita tidak ingin persoalan yang sama terulang kembali, sekecil apa pun itu pemicu dan alasannya.

Saya lebih senang persoalan bangsa ini, apalagi menyangkut persoalan konflik antar umat beragama diselesaikan secara dialog-teologis terbuka, daripada semua persoalan hanya diselesaikan dengan saling melaporkan dan ditarik-tarik ke ranah hukum. []
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search