Rumah konsep pesanstren

Untuk Mereka yang Mengaitkan Wabah Virus Corona dengan Kezaliman kepada Muslim Uighur

- Januari 28, 2020


Kenapa saya tidak mengaitkan wabah virus Corona dengan kekejaman terhadap muslim Uyghur?

Karena bukan itu akhlak kita. Izinkan saya jelaskan perlahan.

Kawan-kawan yang dirahmati Alloh, sikap seorang muslim ketika ia melihat musibah adalah ia mendoakan yang terkena musibah, berlindung kepada Alloh Agar tak mendapatkan musibah serupa dan menolong yang terkena musibah jika mampu.

Bukan lantas mengaitkan dengan maksiat yang dilakukan oleh yang terkena musibah.

Kan dalam Qur'an dijelaskan demikian?

Meskipun jelas dalam Al-Qur'an disebutkan: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syura: 30).

Ayat ini berlaku sebagai cermin untuk diri. Bukan sebagai alat menghakimi orang lain.
Catat baik-baik.

Jika kita sendiri yang terkena musibah, maka bertaubat kepada Alloh, muhasabah diri atas kesalahan dan kemaksiatan di masa lalu. Ini sikap yang tepat.

Namun jika untuk orang lain, maka sikap yang tepat adalah menghiburnya, mendoakannya dan memberi pertolongan jika mampu. 

Andai pun benar bahwa sebuah musibah Alloh turunkan untuk suatu kaum lantaran maksiatnya, dan itu tergolong sebagai azab, maka biarlah kebenarannya tetap menjadi rahasia Alloh. Dan hanya Alloh yang tahu.

Kita manusia tak punya pengetahuan sedikit pun tentang rahasia azab Alloh kecuali sedikit, itu pun setelah Alloh dan RasulNya mengabarkan.

Seperti bencana kaum Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Syuaib dan lainnya.

Maka saya termasuk yang menghindari mengaitkan bencana dengan maksiat.
KECUALI UNTUK DIRI SAYA SENDIRI. Karena untuk yang ini ada banyak teladannya dari para ulama.
.
Bayangkan jika kita sedang kena musibah, lalu ada orang datang, bukannya simpati atau menolong. Malah berkata,
"Ini sebab maksiat antum sih.. taubat makanya.."

Hehehe.. pasti pingin nonjok rasanya.
.
Karena bagaimana pun, bisa jadi di satu tempat yang tertimpa bencana yang tengah kita komentari dengan ucapan buruk itu, ada saudara seiman yang tetap harus kita doakan dan kita tolong bebannya.

Saya menulis ini lantaran sedih jika membaca berita bencana, yang tempat bencana itu ada di lokasi dimana Islam ditindas. Lalu membaca komentar kawan-kawan di bawahnya berisi penuh dengan rasa puas, kebencian, menghakimi, dan seterusnya.

Bayangkan dengan mereka yang membaca itu.. apakah akan ada simpati kepada Islam?? Apakah mereka akan mengenal Islam sebagai agama rahmat dan kasih sayang?? Apakah dengan membaca komentar-komentar itu mereka bisa melihat gambaran Islam yang sebenarnya?? Atau justru sebaliknya?

Alih-alih seperti membela agama, kita justru memperburuk citra agama.

Semarah-marahnya saya terhadap penindasan Uyghur, masih harus lebih besar kebaikan yang harus saya tunjukkan sebagai jalan dakwah. Itulah agama yang rahmatan lil alamin.

Kita nggak boleh marah?? Nggak boleh membalas?? Boleh..!! Hanya jika berada di dalam medan perang.

Sebagaimana Rasulullah dan para sahabat hanya menghunus pedang kepada musuh yang terang-terangan mengajak perang di medan perang. Tak pernah menyerang mereka yang ada di dalam kota dan berlindung di rumahnya.

Tulisan ini mungkin berpotensi tidak populer. Tapi hanya sebagai pengingat bahwa kita adalah sebaik-baik umat..
Baik akhlaknya, baik juga kualitas imannya.

Wallahu'alam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني لم أومر أن أنقب قلوب الناس ولا أشق بطونهم

“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk memeriksa isi hati manusia dan membelah perut mereka”  (HR. Al-Bukhari no 4351)

Salam..
Andre Raditya
Advertisement

1 komentar:

avatar

Yang diajarkan Nabi SAW, kita tak boleh bergembira meskipun musuh tertimpa musibah walaupun dalam suasana perang sekalipun.


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search