Rumah konsep pesanstren

Muslimah Mencari Nafkah (2)

- Januari 03, 2018
Muslimah Mencari Nafkah (ilustrasi)



Dari Fitrah Sampai Iffah 


Muslimah bekerja memang tak salah, tapi ia harus memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan syariat. Syarat yang pertama dan paling utama adalah izin suami atau orangtua (jika belum menikah). Izin suami ini seyogianya dimaknai sebagai bentuk kasih sayang, perhatian serta wujud pertanggungjawaban seorang qawwam dalam rumah tangga. Hal ini tidak boleh disepelekan karena merupakan prinsip dasar dalam keluarga. 





Bila sang isteri punya hujjah yang kuat, insya Allah suami yang baik akan berlapang dada memberi kesempatan. Apatah lagi jika misalnya kondisi suami tidak bisa mencari nafkah karena sakit, jumhur ulama justru mewajibkan sang isteri untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. 

Berikutnya, muslimah yang bergiat di ranah publik tidak boleh melupakan tugasnya di rumah. Sebagai isteri, ia punya kewajiban melayani suami. Sebagai ibu, ia memiliki tugas mendidik anak menjadi shalih dan berprestasi. Inilah yang disebut fitrah. Jangan sampai karena mengejar karier, seorang muslimah tidak mau punya anak karena dianggap menghambat produktivitasnya. 

Tak hanya itu, bila sudah dikaruniai anak, hendaklah hak-hak anaknya dipenuhi sebaik mungkin termasuk menyusuinya hingga masa dua tahun hijriyah. Alhamdulillah, saat ini sudah tersedia ruang laktasi di sejumlah kantor. Para ummahat bisa leluasa memerah ASI untuk disimpan lalu dikonsumi bayinya keesokan hari dan seterusnya. 

Pada malam hari, sang buah hati bisa disusui langsung hingga terjalin kedekatan emosi yang akan membentuk kedewasaan psikologis anak nantinya. Ketika sudah disapih, anakpun harus dipenuhi haknya bermain dan belajar bersama bunda. 

Sedih sekali rasanya jika seorang bunda lulusan S2 membiarkan waktu anaknya habis bersama baby sitter yang tak tamat SMA sepanjang hari. Bukannya tak boleh, namun setidaknya ibu muslimah yang shalihah menyediakan quality time bagi penyejuk matanya itu. 

Bagi mereka, didengarkan celotehannya adalah sebuah kebahagiaan yang menjadi sumber energi melewati hari-hari ke depan. 

Saran Abah Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari dengan program 1821 di mana mulai mukul 18.00 s.d. 21.00 WIB para orangtua meluangkan waktunya khusus untuk keluarga sangat patut dicontoh. Selama tiga jam itu, keluarga fokus berinteraksi tanpa gawai (gadget) dan televisi. Insya Allah, dengan menjaga fitrah akan turun keberkahan-Nya. 




Selanjutnya, para muslimah bekerja hendaklah bersikap iffah alias menjaga kehormatan. Bagaimana caranya? Sederhana saja. Kenakan busana yang menutup aurat. Pastikan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan tertutup rapat. Bukan cuma tertutup, sebagaimana disampaikan Nasiruddin Al-Albani dalam Jilbab Wanita Muslimah, pakaian seorang perempuan mukminah juga tidak boleh ketat sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Muslimah juga jangan tabarruj dengan memamerkan perhiasan, dandanan serta wewangian yang berlebihan. 

Kita bersyukur di zaman reformasi ini kaum hawa cukup leluasa menggunakan hijabnya tak seperti kisah pahit di era Orde Baru seperti dikisahkan Alwi Alatas dalam Revolusi Jilbab

Kemudian, muslimah bekerja juga menjaga adab berkomunikasi dengan lawan jenis. Percakapan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan sebaiknya dihindari. Di luar itu, berbicaralah seperlunya saja untuk sekadar menjaga silaturahim. Kontak mata juga mesti dijaga mengingat ada anjuran untuk ghaddul bashar atau menundukkan pandangan. 

Selain itu, suara juga tidak boleh dilunakkan, dimerdu-merdukan atau didesahkan. Hal-hal ini bisa memancing syahwat lelaki yang dapat berujung pelecehan seksual entah secara verbal atau bahkan di level yang lebih berbahaya. Na'udzubillah... 

Saat iffah ini sudah dijaga, mudah-mudahan izzah (kemuliaan) muslimah senantiasa terjaga. Tinggal lagi bagaimana muslimah bekerja meluruskan orientasinya di pekerjaan bahwa itu adalah sarana mengembangkan kompetensi ilmiah dan menyeru kalimah Allah. Ia juga tidak boleh lupa punya suami yang sama lelahnya menunggunya di rumah dengan setia untuk membangun surga bersama. 

Biarlah pengagum feminisme merayakan kebebasan versi mereka hingga melupakan fitrah untuk menikah dan berketurunan. Biarlah pengejar dunia bergelimangan harta sampai luput merajut takwa di hatinya. Biarlah Allah saja yang membayar semua keletihan kita yang tiada habisnya. 

“Jangan arahkan sudut pandangmu pada sesuatu yang belum tentu bisa kau lihat. Itu hanya akan melemparkanmu pada keterasingan di mana rasa syukur sering hanya sebatas ujung lidah.” (Asma Nadia, Love Sparks In Korea

*Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara



Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search