Rumah konsep pesanstren

Bea Cukai dalam Pandangan Islam

- Desember 19, 2019


Bea Cukai dalam Pandangan Islam

Oleh: Anugrah Roby Syahputra

“Tidak akan masuk surga “shahibul maksin” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah).

Hadits di atas sering kali dijadikan argumen oleh kelompok tertentu untuk mengharamkan bekerja di instansi pajak dan bea cukai. Sebab frase “shahibul maksin” secara serampangan diterjemahkan sebagai pajak dan bea cukai. Kadang diterjemahkan pajak. Lain waktu dimaknai sebagai bea cukai. Tergantung kebutuhan mereka mau memvonis yang mana. Benarkah demikian? 

Dalam penjelasan Ustadz Adi Hidayat, Lc, M.A, yang dimaksud shahibul maksin adalah orang yang menarik tarif dari pedagang ketika mereka lewat dan main belakang serta tidak disahkan oleh negara serta diambil secara paksa (Mir’ah Al Mafatih, 4/233). Sederhananya maks adalah pungutan liar oleh preman pasar untuk “jasa keamanan”. Sedangkan pajak dan bea cukai dalam konteks modern sangatlah berbeda definisinya. Lebih tegasnya, Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, M.A mengistilahkan maksin sebagai palak, bukan pajak.

Mengurai Benang Kusut

Memang ada sebagian kecil ulama yang berpendapat haram hukumnya pajak dan bea cukai dalam pengertian modern. Pendukung fatwa ini biasanya merujuk Arab Saudi sebagai contoh negara tanpa pajak. Faktanya, Arab Saudi sendiri sejak tahun 2018 sudah memungut PPh, PPN dan Cukai. Nah, sebenarnya jumhur ulama dari empat mazhab muktabar berpendapat bolehnya negara memungut pajak dengan syarat adil (tidak zalim) dan tidak melampaui batas. 

Ahli fikih dari kalangan Malikiyah menyebutnya “al-wazha-if” atau “al-kharraj“. Di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan “an-nawa-ib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sulthan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sulthaniyah“. Pengertiannya adalah pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut. 

Dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar). 

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam Al-Mustashfa dan Asy-Syatibhi dalam Al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu di mana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib. 

Di kalangan ulama muta’akhirin (kontemporer), pendapat ini didukung oleh Syaikh DR. Yusuf Qardhawy. 
Hanya saja, penerapan pajak ini harus memenuhi syarat adil yaitu di antaranya adanya kesukarelaan dari wajib pajak. Sebagaimana diterangkan Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin. “Kebijakan penguasa kepada sebagian rakyatnya untuk memberikan sesuatu setiap tahun seperti memberikan bebarapa dirham yang ditasharrufkan untuk kemaslahatan, jika mereka memberikannya dengan sukarela tanpa tekanan baik dari penguasa atau selainnya maka boleh mengambilnya. Jika tidak, maka termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil dan tidak halal bagi penguasa untuk menasharrufkannya di pelbagai bidang.”

Di Indonesia, baik pajak maupun bea dan cukai ditetapkan dengan Undang-Undang yang merupakan produk hukum hasil kesepakatan antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif (DPR). DPR sendiri secara formal merupakan representasi yang sah dari rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. 

Bekerja adalah Jihad

Secara umum, bekerja mencari nafkah untuk anak, istri dan orangtua saja sudah bernilai ibadah dalam perspektif Islam. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka lebih baik daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik itu memberinya atau tidak." (HR Al-Bukhari dan Muslim). 

Tak hanya itu, Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.”(Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/264]).
Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata, “Tatkala kami (para sahabat) duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba ada seorang pemuda yang keluar dari jalan bukit. Ketika kami memperhatikannya, maka kami pun berkata, “Kalau saja pemuda ini menggunakan kekuatan dan masa mudanya untuk jihad di jalan Allah!” Mendengar ucapan para sahabat itu, Rasulullah SAW bersabda: “Memangnya jihad di jalan Allah itu hanya yang terbunuh (dalam perang) saja? Siapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya, maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi siapa yang bekerja untuk bermewah-mewahan (memperbanyak harta) maka dia di jalan thaghut.” (HR Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath).

Lebih jauh, tugas fungsi Bea Cukai bukanlah hanya berfokus di penerimaan negara. Masih ada fungsi perlindungan masyarakat serta asistensi industri dan fasilitasi perdagangan yang besar sekali manfaatnya bagi masyarakat secara umum. Lihatlah bagaimana petugas Bea Cukai menangkap methampethamine alias sabu-sabu dalam jumlah kiloan bahkan ton. Berapa banyak generasi muda yang terselamatkan dari kerja-kerja lapangan yang mempertaruhkan nyawa itu?

Coba tengok juga berbagai penyelundupan barang lartas (larangan dan pembatasan) yang digagalkan. Semuanya menyelamatkan industri dalam negeri. Sebaliknya penyelundupan ekspor hewan yang dilindungi (CITES), hasil hutan serta mineral dan energi terbarukan telah membantu menjaga lingkungan hidup kita lebih lestari.

Cukai sendiri pun sesungguhnya punya filosofi untuk menjaga masyarakat dari barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya membawa dampak negatif. Insya Allah semua ini akan menjadi amal shalih yang dicatat di sisiNya dan kelak akan jadi pemberat timbangan kebaikan bagi para pegawai Bea Cukai di yaumil hisab. 

Oleh karenanya, para petugas Bea Cukai harus menjaga semangat bekerja di institusinya. Apapun posisinya baik sebagai analis laboratorium, pemeriksa barang, dog handler, auditor, unit kepegawaian, keuangan, rumah tangga serta unit lainnya. Semua bernilai ibadah jika dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah dan dilaksanakan secara benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search