Rumah konsep pesanstren

Rakus

- Januari 16, 2020
Rakus (ilustrasi: whatislistening.com)


Rakus
Oleh: Nuim Hidayat
(Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok)

Rakus. Tamak. Itulah masalah laten di negeri ini.

Di tengah-tengah kemiskinan 24 juta orang, menurut BPS, atau 100 juta orang menurut Bank Dunia, para pejabat ramai-ramai bancakan uang negara. Bukan hanya pejabat pusat. Pejabat daerah pun ikut-ikutan rakus.

Kebobrokan tingkah laku pejabat BUMN-BUMN kini terkuak. Dimulai dari direksi Garuda yang menyelundupkan motor-motor mewah. Pejabat Asuransi Jiwasraya yang menggerogoti uang perusahaan sampai 13,7 triliun. Pejabat Asabri yang diduga merugikan perusahaan sampai 10,8 triliun dan lain-lain.

Kerakusan bukan hanya korupsi atau penyelewengan uang negara. Kerakusan dimulai dari tidak empatinya para pejabat terhadap kondisi jutaan kaum miskin di Indonesia. Anggota DPR yang menerima gaji tiap bulan 100 juta sebenarnya bisa digolongkan rakus. Begitu pula direksi atau komisaris Pertamina yang menerima gaji 3 milyar per bulan juga rakus.

Lihatlah misalnya kerakusan di Bank Pemerintah pada tahun 2016. Bank Mandiri pada 2016 telah mengeluarkan dana untuk gaji Dewan Komisaris sebesar Rp 15,97 miliar yang dibagikan untuk 9 orang. Jika dihitung secara rata-rata gaji perorangan dewan komisaris Rp 1,77 miliar per tahun atau Rp 147,91 juta per bulan.

Sembilan Komisaris Bank Mandiri di 2016 juga mendapatkan tunjangan rutin Rp 4,67 miliar atau Rp 518,9 juta per orang per tahun atau Rp 43,2 juta per bulan. Sedangkan untuk pembagian tantiem (bonus) di 2016 untuk 13 orang sebesar Rp 65,78 miliar atau rata-rata Rp 5,06 miliar per orang.

Sementara untuk dewan direksi Bank Mandiri total gaji yang telah disalurkan sebesar Rp 39,06 miliar untuk 12 orang. Jika dibagi rata-rata per direksi mendapatkan gaji Rp 3,25 miliar per tahun atau Rp 271,26 juta per bulan. Kemudian untuk pembagian tantiem di 2016 sebesar Rp 212,03 miliar untuk 17 orang atau Rp 12,47 miliar.

Sementara untuk total tunjangan rutin untuk 12 orang direksi Bank Mandiri sebesar Rp 7,8 miliar atau Rp 650,3 juta per orang per tahun atau Rp 54,2 juta per orang per bulan.

Begitu pula yang terjadi pada BPJS. Di tengah-tengah BPJS defisit trilyunan, direksinya menikmati gaji ratusan juta. Mengutip Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang. Dengan kata lain, masing-masing direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan. 

Kerakusan bukan hanya pada pejabat pusat. Pejabat daerah kini ikut-ikutan rakus. Gaji anggota DPRD Depok kini mencapai 45 juta per bulan. Gaji DPRD Kota Bekasi berkisar 46 juta dan seterusnya.

Kalau para pejabat itu ada empati untuk orang miskin di tanah air, gaji mereka harusnya tidak lebih dari 30 juta. Coba bayangkan bila gaji anggota DPR RI 30 juta pe bulan, bukan 100 juta, maka bisa dihemat 70 juta x 575= Rp. 40,25 milyar. Coba berapa ratus rumah bisa dibangun untuk orang miskin tiap bulan dengan uang 40 milyar itu? Katanya wakil rakyat, rakyatnya banyak yang miskin kok mereka enak-enakan kaya sendiri.

Begitulah kerakusan yang terjadi di negeri ini. Maka jangan heran, kalau korupsi terus menjamur baik di pusat maupun di daerah. Karena lingkungan kerja atau lingkungan birokrasi yang ada membuat orang saling bersaing untuk kaya, bukan empati kepada orang miskin. 

Bila dimenej secara tepat dan para pejabat tidak rakus, maka Indonesia akan cepat mencapai adil makmur. Tapi selama pejabatnya tamak dan sistem penggajian seperti ini, mustahil Indonesia menjadi adil makmur. Yang terjadi adalah BUMN-BUMN makin bobrok dan rakyat makin miskin. Seperti yang terjadi sekarang ini.

Begitulah bila keuangan di negeri ini dijadikan bancakan para pejabat. Bukan diatur sesuai dengan manajemen Umar bin Khatttab atau Umar bin Abdul Azis. Di masa dua khalifah itu, Baitul Mal (Keuangan Negara) kaya raya, tapi para pejabatnya hidup sederhana. Sehingga rakyatnya adil makmur. Saking makmurnya di masa Umar bin Abdul Azis, pemerintah kesulitan menyalurkan harta zakat di negerinya.

Perilaku rakus ini membahayakan, baik diri pribadi maupun masyarakat. Nabi pernah berpesan kepada Hakim bin Hizam : “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu indah menggoda. Barang siapa yang tidak mengambilnya dengan rakus maka ia akan mendapati berkah. Barang siapa yang mengambilnya dengan rakus, maka ia tidak akan mendapati berkah; ia seperti orang makan yang tidak merasa kenyang” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw juga pernah berpesan :  “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.”
Allâh SWT berfirman: “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” [Al-Fajr/89:20]. “Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” [Al-‘Âdiyât/100:8].

Dari Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Saya pernah mendengar Ibnu Zubair dalam khutbahnya di atas mimbar di Mekah berkata: “Wahai manusia! Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, seandainya anak Adam diberikan satu lembah yang penuh dengan emas, pasti dia akan ingin memiliki lembah yang kedua, dan jika seandainya dia sudah diberikan yang kedua, pasti dia ingin mempunyai yang ketiga. Tidak ada yang dapat menutup perut anak Adam kecuali tanah, dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.”

Rasulullah saw juga berpesan : “Sesungguhnya dinar dan dirham telah membinasakan orang-orang sebelum kalian dan keduanya juga membinasakan kalian.” []
Advertisement

1 komentar:

avatar

حب الدنيا رأس كل خطيئة


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search