Rumah konsep pesanstren

Hamka dan Konsistensi yang Tak Terbeli

- Februari 20, 2019



Hamka dan Konsistensi yang Tak Terbeli
Oleh: Anugrah Roby Syahputra

Seratus sebelas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Februari 1908, tangis seorang bocah pecah di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kala itu lahirlah anak pertama ulama besar H. Abdul Karim Amrullah atau dikenal juga sebagai Haji Rasul dari rahim istrinya, Safiyah. Anak lelaki itu kemudian tumbuh besar dengan suasana pendidikan agama yang kuat. Pagi hari sekolah di Diniyah School Padangpanjang dan sorenya mengaji di Sumatera Thawalib. Dia juga terbiasa menyuntuki berbagai buku terjemahan Timur Tengah, Tiongkok hingga roman Balai Pustaka di perpustakaan milik gurunya, Zainuddin Labay el Yunusy.

Ya. Dia adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka. Beliau adalah ulama besar yang telah meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan bagi umat dan bangsa. Semasa hidup, ulama asal Maninjau ini dikenal santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,”demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Selama hidupnya, tak kurang 120 judul buku ditulisnya. Karya besarnya antara lain Kenang-Kenangan Hidup, jilid 1-4 (1974), Akhlakul Karimah (1974), Ghirah dan Tantangan terhadap Islam (1982), Tafsir al-Azhar (1985), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya (1986), Sejarah Umat Islam, jilid 1-4 (1950). Dia juga menulis di berbagai media mulai dari Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, Suara Muhammadiyah hingga menjadi pemimpin redaksi koran Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Tak hanya itu, Hamka juga dikenal sebagai novelis. Beberapa roman karangannya yang paling dikenal publik yaitu Di Bawah Lindungan Kakbah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Merantau ke Deli dan Teroesir.

Karena produktivitasnya dalam menulis dan keahliannya diakui sebagai filosof muslim, pada tahun 1952 Hamka diangkat oleh Pemerintah menjadi anggita Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementerian PP dan K serta menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar sekaligus merangkap Penasihat Kementerian Agama. Selanjutnya, sebab kiprahnya yang luas dalam dakwah dan penyiaran agama Islam, Hamka mendapat gelar Ustaziyah Fakhiriyah atau Doktor Honouris Causa dari  Majelis Tinggi Universitas Al-Azhar, Mesir pada tahun 1959. Tapi Hamka tetap rendah hati.

Teguh Pendirian


Ia dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian. Ketika menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 7 Maret 1981 ia mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Latar belakangnya adalah banyaknya instansi pemerintah yang menggelar acara ibadah bersama tersebut karena waktu Idul Fitri dan Natal berdekatan. Pemerintah kaget dan mengecam fatwa tersebut. Menteri Agama saat ini Alamsyah Ratu Prawiranegara menyebut fatwa itu dapat merusak kerukunan antar umat beragama. Menag meminta fatwa dicabut.

Buya Hamka dalam tulisannya yang berjudul “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme” menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi akan menyuburkan kemunafikan.

Hamka menulis, “Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima”.

Menanggapi permintaan mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Shobahussurur dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka,  merekam pernyataan Hamka. "Masak iya saya harus mencabut fatwa," katanya sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya di Masyumi, M. Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "Waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat." Baginya kehilangan kuasa tak mengapa daripada harus berkompromi dalam masalah iman.

Sebelumnya Hamka juga pernah menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Tanpa tedeng aling-aling, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?” Saat itu memang sedang gencar-gencarnya penyebaran misi kristenisasi di Nusantara.

Prinsip Politik


Hamka pada awalnya tidak tertarik pada dunia politik. Tapi ketika diminta menjadi anggota Konsituante ia tidak menolak. Sebab tugas Konstituante sangat vital yakni menyusun dasar negara ini. Pada sidang April 1959 mengatakan bahwa “Membuat UUD bukan seperti pekerjaan menggosok-gosok lampu Aladin.” Lebih tegas Hamka berkata di ruang sidang, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” Kalimatnya itu untuk menegaskan pentingnya mengambil Islam sebagai dasar negara. Mungkin di zaman ini Hamka akan cepat-cepat divonis sebagai tokoh radikal anti kebhinekaan yang punya niat licik mendirikan “khilafah””.

Pancasila menurut Hamka hanyalah kalimat-kalimat singkat yang harus dijelaskan oleh sebuah sistem nilai. Di jaman Orde Baru, Soeharto pernah menggunakan tafsir tunggal Pancasila, yaitu P-4. “Itulah yang banyak diprotes orang, yaitu tafsir tunggalnya. Bukan Pancasilanya,” ungkap sejarahwan Tiar Anwar Bachtiar dalam diskusi “Napak Tilas Keteladanan Politik Buya Hamka” (20/1/19)

Bersama Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Hamka memang getol menentang upaya sekularisasi. Dia juga menolak kampanye jahat pemisahan agama dan negara yang banyak diembuskan tokoh-tokoh komunis. Di depan pemuka agama dan aktivis Kristen di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada 21 April 1970, Hamka berpidato lantang, “Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara, haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan di rumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet.”

Sebagai tokoh yang idealis, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya.  Presiden Soekarno yang memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) menahan Buya Hamka selama dua tahun lebih dengan tuduhan serius: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, saat sedang berpuasa Ramadhan Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Perpres Nomor 11.

Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan hak melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-bukunya pun dilarang beredar. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama sepuh tersebut. Di tahanan ia dipaksa mengaku bahwa ia “telah menjual negara kepada Malaysia”. Tapi ia bergeming. Hamka bersikukuh bahwa ini hanyalah fitnah belaka.

Jiwa Besar


Meski banyak pihak menzaliminya, Hamka tak pernah dendam. Dikungkung di penjara tak membuatnya mati gaya. Malahan di dalam bui, ia menyelesaikan karya agungnya Tafsir Al Azhar. Suatu ketika ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970 menyampaikan pesan dari Soekarno. Bunyinya, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Selain itu ada Mohammad Yamin, politisi PNI yang begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Tak jauh beda dengan Soekarno, Hamka juga mendapat pesan dari Yamin agar mendampinginya menghadapi sakaratul maut. “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya. Hamka bergegas menjeguk. Di rumah sakit ia terus membisikan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid hingga ajalnya.

Terakhir adalah Pramoedya Ananta Toer sastrawan Lekra yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di koran Bintang Timoer, Pram sangat agresif menyerang Hamka dengan tudingan plagiasi demi menghancurkan reputasi Hamka. Namun di kemudian hari, Pram meminta putrinya yang akan menikah dengan seorang Tionghoa beda agama untuk menemui Hamka. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.

Masya Allah. Betapa besar jiwa Hamka yang rela memaafkan orang yang selama ini memusuhinya dengan sengit. Sungguh apa yang dilakonkannya ibarat oase di tengah gurun bernama Indonesia. Dialah sebenar pejuang yang konsisten sikapnya dan tidak bisa dibeli prinsipnya. Jenderal Nasution pernah menawari Hamka jabatan Mayjen Tituler. Dengan pangkat itu, amat banyak gaji dan fasilitas yang akan didapat. Tetapi Hamka lebih memilih berdakwah dan menulis. “Saya sudah dianggap ulama oleh masyarakat dan hobi saya menulis, tentu akan hal-hal tersebut sedikit banyak menghambat tugas-tugas saya sebagai seorang Mayor Jenderal walaupun Tituler,” tegasnya sebagaimana diungkap Irfan Hamka dalam Ayah. 

Penulis adalah Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena.
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search