Rumah konsep pesanstren

Dzikir Tanpa Makna

- Oktober 07, 2019


DZIKIR TANPA MAKNA

Oleh: KH. DR. Miftah el-Banjary

Terkisahlah seorang ulama memiliki seekor burung beo yang begitu pandai menirukan suara-suara yang sering diperdengarkan kepadanya. Si burung beo sering mendengar tuannya berzikir setiap pagi dan sore dengan lantunan zikir yang merdu.

"Laailahaillallah.. Laailahailallah.. Laailahhailallah.. Muhammadur Rasulullah.."

Begitulah lantunan suara zikir yang biasa ditirukan oleh si burung beo yang membuat si ulama semakin sayang padanya. Dia diperkenalkan pada khalayak ramai dan semakin dikagumi dengan kemampuannya menirukan zikir. Bahkan, ada menyebutnya sebagai "burung keramat".

Waktu berlalu. Suatu hari, si tuan dan keluarganya pergi melakukan perjalanan jauh ke luar kota untuk beberapa hari. Si burung beo  ditinggalkan dalam sangkar. 

Di tengah malam, sekawanan kucing hitam terlepas dari kandangnya dan kelaparan. Kucing-kucing itu menemukan korban yang bisa dijadikan santapan lezat. 

Tak butuh waktu lama, kucing itu berhasil meloncati sangkar burung hingga terjatuh. Si burung beo terkejut tak kepalang tanggung. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga berharap suaranya didengarkan dan ada yang menyelematkan nyawanya.

"Aaaaaakh.. Aaaakh.. Aaaakh.." teriak si beo.

Si beo tak mampu mengucapkan kalimah-kalimah zikir yang biasa ditirukan. Suaranya yang muncul hanyalah apa yang di dalam pikiran dan hatinya, berteriak minta tolong.

"Aaaaaakh.. Aaaakh.. Aaaakh.."

Malang tak terhindarkan. Si beo meregang nyawa. Akhirnya, si beo mati dalam keadaan berteriak, bukan dalam kondisi berzikir seperti yang biasa ia lafalkan.

Mengapa?

Sebab, beo hanya pandai menirukan, bukan pandai memaknai dan meresapi. Kemampuan menghayati dan mendalami hanya dimiliki oleh manusia. Inilah yang membedakan antara manusia dan hewan.

Kisah ini juga merupakan tamsil analogi bagi orang yang hanya suka menampilkan aspek zahir, tapi memperhatikan aspek bathiniyyah. 

Banyak orang yang berzikir, ahli melagukan al-Qur'an, merdu bershalawat, berpenampilan layaknya ulama besar, namun semua itu bila hanya sekedar aspek zahirnya saja, maka tidak akan banyak memberikan pengaruh dan perubahan dalam kehidupannya, bahkan ketika mengakhiri hidupnya.

Jangan sampai kita hanya berzikir, beribadah, namun kita kosong dan hampa dari makna hakikat ibadah tersebut. Jangan sampai kita mem-beo, pandai menirukan kata-kata bijak, namun hal itu belum meresap dalam diri dan hati kita. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thaariq.
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search