Rumah konsep pesanstren

KPIQP: Jangan Biarkan Perempuan dan Anak Al Quds Terus Menderita

- Maret 13, 2021

 


 

Penduduk Al Quds telah menderita lama sejak Israel menjajah pada 1967. Kota yang menurut kebijakan PBB seharusnya menjadi kota yang dikelola lembaga Internasional dirampas Israel melalui invasi militer.

 Sejak saat itu,  Israel menerapkan kebijakan yang menyengsarakan penduduk Al Quds, agar mereka angkat kaki dari rumah mereka.

Kebijakan berupa pajak yang tinggi sehingga penduduk Al Quds tidak bisa membayarnya. Lalu, sulitnya mendapatkan izin membangun rumah hingga penduduk sering terpaksa menambah bangunan rumah mereka tanpa ijin.

Ujungnya, pemaksaan pembongkaran rumah. Berdasarkan data dari OCHA (United Nation Office for the Coordination of Humanitarian Affairs), sejak  2009 hingga saat ini, sebanyak 2.669 warga Al Quds terkena kebijakan pengusiran dan penghancuran rumah.

Perempuan dan anak-anak merupakan korban mayoritas dari kebijakan ini.

Penderitaan mereka semakin bertambah dengan dibangunnya kebijakan tembok rasial yang membatasi gerak langkah warga Al Quds dengan tetangga terdekatnya. Warga Al Quds menjadi terisolasi satu sama lain. Untuk sekedar berangkat sekolah, seorang anak harus melewati berbagai pos penjagaan. 

Dunia boleh saja berdiam dengan segala yang terjadi. Namun Indonesia, melalui KPIQP menyerukan supaya penderitaan ini segera dihentikan. 

Penjajahan tidak layak untuk dipertahankan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan. 

Melalui webinar yang dilakukan pada Sabtu, 13 Maret 2021 pukul 13.00 dengan tema “Duka Perempuan dan Anak Al Quds, Duka Kita”, KPIQP menunjukkan komitmen dukungan ini. 

Sebagai pembicara pembuka, Drs. Bunyan Saptomo, M.A selaku perwakilan MUI menegaskan mengapa pentingnya peran umat Islam dalam perjuangan untuk Al Aqsa. “Marilah kita memanfaatkan media yang ada, untuk sama-sama menggalang persatuan dan kampanye terhadap dunia. Mari kita terus dengungkan upaya untuk mewujudkan perdamaian, melawan penjajahan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel,” ungkapnya dalam webinar yang dihadiri lebih dari 1000 orang melalui plaform zoom dan youtube ini.

Mengenai penderitaan yang dialami oleh perempuan dan anak di Palestina, Kepala Pusat Studi Gender UII, Dr. Trias Setiawati mengungkapkan bahwa mereka tidak hanya mengalami penderitaan secara individual dan keluarga. Perempuan dan anak Al Quds harus menghadapi tentara-tentara Israel setiap harinya.

Tentara Israel tidak membedakan antara perempuan, anak, atau lelaki. Semua diperlakukan seperti menghadapi laki-laki dewasa. 

Secara riil, penderitaan perempuan dan anak di Al Quds dapat ditangkap dari pembicara ketiga, Zena Said, guru majelis taklim Mesjid Al Aqsha. Menurutnya, Israel secara sengaja menyengsarakan perekonomian penduduk Al Quds hingga tingkat kemiskinan mencapai 82 persen. Kondisi ini diperparah karena adanya upaya sistematis Zionis untuk menghancurkan moral anak Palestina dengan membagikan narkoba secara gratis. 

Tingkat kekerasan tentara terhadap perempuan dan anak juga tinggi.

Zena sendiri mengalami dua kali kekerasan  tentara penjajah zionis hingga rahangnya patah.  Ini semua membuat para ibu di Al Quds dihinggapi kekhawatiran yang sangat tinggi terhadap keselamatan keluarga mereka. “Namun diatas itu semua, para perempuan Al Quds lebih mengkhawatirkan kondisi Masjid Al Aqsha dibawah penjajahan zionis. Al Aqsha adalah titipan Nabi dan kompas perjuangan hidup Muslim,” demikian Zena menutup pembicaraannya dalam webinar yang diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Pekan Al Quds Internasional yang diinisiasi oleh Asosiasi Ulama Palestina.

Sebagai pembicara penutup, Nurjanah Hulwani, M.E. yang juga merupakan ketua KPIQP mengingatkan bahwa yang dilakukan penduduk Palestina saat ini bukanlah untuk menjaga negara mereka. Namun yang mereka lakukan adalah untuk menjaga martabat ummat, karena ada Al Aqsha di dalamnya. 

Namun ironinya, karena hal tersebut mereka harus kehilangan rumahnya dan martabat mereka dinistakan. Agar penderitaan ini segera berakhir, Nurjanah mengajak seluruh elemen umat manusia, apapun agama mereka untuk bersatu menyelesaikan urusan Palestina. “Cukup menjadi manusia untuk menolong Palestina,” pesannya kepada para peserta webinar yang diselenggarakan KPIQ bekerja sama dengan Smart 171, Kulluna Maryam, KNRP TV, Radio Silaturahim, Khodijatee Foundation dan Akhwat Bergerak.

Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search