Rumah konsep pesanstren

Menakjubkan! Ulama Ini Mabrur, Padahal Tak Tunaikan Ibadah Haji

- Agustus 10, 2019



DITERIMA HAJINYA, MESKI TIDAK IKUT BERHAJI

Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary

Terkisahlah pada satu hari ketika para jamaah haji sedang melakukan wukuf di padang Arafah, seorang ulama hadits kenamaan bernama Imam Abdullah bin Mubarak bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun dari langit seraya berbincang-bincang.

"Berapa jumlah jemaah haji yang diterima hajinya pada tahun ini?" tanya seorang malaikat pada temannya.

"Allah menerima semua ibadah haji para hamba-Nya sebanyak 12.000 orang pada tahun ini, disebabkan hajinya seseorang bernama si Fulan di sebuah kampung," jawab seorang malaikat lagi.

Tak lama kemudian, Imam Abdullah bin Mubarak terbangun dari tidurnya. Beliau memikirkan mimpi yang baru dialaminya. Mimpi itu sedemikian jelasnya, sehingga beliau masih ingat betul nama dan alamat yang disebutkan di dalam mimpi tersebut.

Penasaran atas mimpi tersebut, seusai menunaikan ibadah haji, Imam Abdullah bin Mubarak tidak segera pulang ke kampung halamannya, melainkan berencana mencari dan mendatangi seseorang yang disebutkan di dalam isyarat mimpinya itu.

Walhasil, singkat cerita, berangkatlah ulama hadits itu ke wilayah bagian Baghdad, lalu mencari nama desa yang ia dengar di mimpinya. Berminggu-minggu dalam masa pencarian, akhirnya Imam Abdullah al-Mubarak menemukan kesesuaian nama dan tempat tinggalnya.

Namun, hal yang mengherankan dari informasi orang-orang yang beliau dapatkan, ternyata seseorang yang dimaksudkan itu, belum pernah melaksanakan ibadah haji sama sekali. 

"Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menyebabkan diterima ibadah hajinya, terlebih dengan sebab berkah hajinya di tahun itu, Allah menerima semua ibadah haji semua kaum muslimin di tahun itu?" gumam Imam Abdullah al-Mubarak.

Tidak ingin banyak berspekulasi dan menduga-duga, Imam Abdullah al-Mubarak tetap melanjutkan niatnya untuk pergi menemui orang tersebut. Orang itu berhasil ditemui dan diterima baik oleh orang itu. Ternyata, ia hanya seorang tukang penambal sepatu di pasar.

Setelah berbincang-bincang, Imam Abdullah al-Mubarak menanyakan perihal bagaimana ia bisa menyebabkan semua ibadah haji kaum muslimin diterima pada tahun itu disebabkan berkah haji yang ia lakukan. 

Orang itu pun kaget, sebab dia sendiri merasa bahwa ia belum pernah menunaikan ibadah haji sama sekali. Namun, setelah didesak oleh ulama itu, akhirnya terbongkarlah kisah pilunya yang sungguh sangat menggugah.

Begini, kisahnya.

"Aku hanyalah seorang yang miskin. Aku hidup bersama seorang istri dan anak-anakku yang masih kecil. Kami terbiasa hidup apa adanya. Hasil menambal sepatu hanya bisa kami pergunakan untuk keperluan makan sehari-hari.

Namun meski demikian, aku tetap berusaha menyisihkan sebagian kecil uang recehan yang aku kumpulkan untuk pergi haji. Sedikit demi sedikit uang aku kumpulkan selama berpuluh tahun lamanya. 

Hingga suatu hari, uang tabungan yang aku kumpulkan sudah cukup tercukupi untuk biaya berhaji aku pun sangat bahagia dan bersyukur.

Di suatu malam menjelang keberangkatanku ke Makkah dengan segala bekal yang telah aku persiapkan, tiba-tiba saja istriku yang sedang hamil mencium aroma masakan yang sangat lezat dari rumah tetangga kami.

Istriku mendesakku agar meminta makanan itu atau membeli seala kadarnya. Terdorong oleh permintaan istriku yang sedang mengidam, aku pun memaksakan diri untuk meminta atau membelinya. Aku mengetok pintu rumah tetanggaku itu.

"Assalamualaikum!" 

"Waaalikumsalam!"

Muncullah si penghuni rumah tetangga kami seorang janda tua yang kehidupannya tidak lebih baik kehidupannya dari kami. Anak-anaknya banyak dan masih kecil-kecil hidup dalam serba kekurangan.

Aku pun mengutarakan keinginanku.

"Begini, istriku sedang hamil tua, tadi dia mencium aroma masakan yang sangat lezat dari dapur rumahmu dan dia mendesakku untuk meminta makanan tersebut, boleh kah aku meminta sedikit atau kalau perlu aku akan membayarnya ala kadarnya?!!"

Si penghuni janda tua itu terperangah dengan permintaan ku. Dia seperti orang yang sedang dilanda kebingungan. Hingga akhirnya, dia menolak permintaanku. 

Dia menjawab, "Ada baiknya tuan tidak meminta makanan itu, bukan saya tidak mau berbagi, sebab makanan itu halal bagi kami, namun haram bagi tuan maupun bagi istri tuan!"

Aku pun dibuat kebingungan dengan jawabannya. Aku pulang tanpa membawa apa-apa. Akan tetapi, istriku tetap mendesakku, hingga akhirnya aku kembali mendatangi rumah tetanggaku itu dan memintanya untuk berbagi meskipun sekedar mencicipi beberapa sendok kuahnya.

Tanpa pernah aku duga sebelumnya, aku pun terperanjat kaget ketika mendengar penuturan janda tetanggaku itu, alasan dia melarangku mencicipi masakan itu untuk istriku, sebab barulah aku memahami bahwa apa yang ia maksudkan halal bagi kami haram bagi keluarga tuan, ternyata daging yang ia masak dikuah itu adalah daging bangkai.

Aku kaget. Kelaparan yang melanda tetanggaku berminggu-minggu membuat mereka harus memasak daging bangkai.

Sungguh aku merasa sangat bersalah dan berdosa. Bagaimana bisa aku pergi menyempurnakan keislamanku, sedangkan aku sendiri masih membiarkan tetanggaku hidup dalam kelaparan?!!

Pada malam itu pula, pada akhirnya aku putuskan untuk mensedekahkan semua biaya hajiku pada tetanggaku yang kelaparan itu. Aku menunda keberangkatan ibadah hajiku pada tahun ini, disebabkan ketersentuhan hatiku pada nasib tetanggaku.

Biarlah Allah yang kelak menentukan keputusan yang terbaik bagiku. Dan kisah Anda telah memberikan embun penyejuk di hatiku bahwa Allah telah menerima niat baik hajiku. Semoga Allah meridhaiku dan seluruh kaum muslimin yang telah menunaikan haji pada tahun ini, ujar orang itu mengakhiri ceritanya."

Demi mendengar kisah haru itu, Imam Abdullah al-Mubarak semakin meyakini bahwa tidak ada amal kebaikan yang baru diniatkan saja, kecuali telah Allah Swt tuliskan sebagai amal ganjaran pahala yang tak ternilai harganya.

Terlebih, pengorbanan seseorang yang awam yang lebih memiliki simpati dan empati terhadap kesusahaan tetangganya dengan menunda ibadah ubudiyyah, ternyata justru mendatangkan keridhaan Allah, sebab ternyata Islam itu tidak semata bertumpu pada Hablumminallah, tapi juga pada hablumminannas.
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search