Rumah konsep pesanstren

Di Balik Disertasi Doktoral Itu

- September 05, 2019


DI BALIK DISERTASI DOKTORAL ITU

Dalam pengantar “al-Madzāhib at-Tauhīdiyyah”, al-Imam asy-Syahid al-Būthi mengatakan, kira-kira begini: “Pada awalnya, saya mengira perbedaan pendapat dalam umat dipicu oleh perspektif yang berbeda terhadap persoalan-persoalan fikih. Karena itu saya menulis beberapa kitab soal itu, antara lain Muhādharāt fī Fiqhil-Muqāran, Dhawābithul-Mashlahah, dll. Tapi setelah saya melakukan peninjauan ulang, ternyata perbedaan itu berakar pada aspek yang lebih dalam lagi, yakni dari aspek-aspek akidah atau keyakinan. Karena itu saya perlu menulis buku-buku tentang ini.”

Intinya, menurut al-Būthī, jika ada orang berpendapat nyeleneh (menyimpang dari Ahlusunah wal-Jamaah), sebenarnya masalahnya bukan hanya soal perbedaan perspektif dalam aspek hukum semata, tapi jika ditelusuri lebih jauh, ada masalah dalam akidah orang itu, sehingga ia berani berpendapat menyimpang, berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh para ulama, sejak zaman Nabi hingga saat ini (mujma‘ ‘alaih).

Dan ternyata, apa yang ramai dibicarakan orang tentang disertasi doktoral beberapa waktu yang lalu, kendati itu adalah soal fikih (yang qath‘iyyāt), sebenarnya tidak sekadar berakar dari masalah perbedaan perspektif hukum semata, melainkan juga membawa serta aspek-aspek yang lebih mendasar lagi, yakni soal akidah. Inilah yang kita pahami dari screenshot yang beredar di Facebook belakangan, seperti yang tertera pada gambar di atas (saya dapati dari Uda Akmal Sjafril). Karena itu, memperdebatkan soal disertasi itu sebenarnya tak terlalu relevan, karena ada masalah yang jauh lebih serius dalam akidah penulisnya.

Maka, sebagaimana dipaparkan al-Būthī dalam Kubrā al-Yaqīniyyāt, seharusnya kita memulai dari hakikat ilmiah yang lebih besar; meyakinkan dia bahwa keberadaan Allah adalah haqq, dibuktikan dengan berbagai ayat masthūr dan manzhūr, oleh naql dan akal sekaligus, dan bahwa kita adalah mutlak sebagai hamba-hamba-Nya. Setelah itu, baru beralih pada soal Nubuwwah, bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah haqq, mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, berupa al-Quran.

Maka, apa yang tertera dalam al-Quran seluruhnya adalah haqq, dan para ulama sepanjang sejarah telah menjelaskan secara ilmiah tentang kebenaran al-Quran, di samping ia juga teruji sepanjang sejarah. Begitu pula hadis-hadis Nabi, yang sudah melewati kerja-kerja ilmiah oleh para ulama sepanjang sejarah secara luar biasa, sehingga terpilah antara yang Mutawatir, Masyhur, dan Ahad, dan antara yang Sahih, Hasan, dan Dha‘if. 

Pengujian ilmiah terhadap kedua sumber itu tak hanya dilakukan oleh satu dua orang saja, seperti layaknya suatu disertasi doktoral di kampus-kampus. Akan tetapi dilakukan oleh gabungan para Mujtahid yang luar biasa, dari generasi ke generasi, di mana gabungan kualitas profesor doktor seluruh Indonesia sekalipun, tak akan ada yang menghampiri level satu orang saja dari Mujtahid seperti al-Imam asy-Syāfi‘, al-Muzanī, ar-Rafi‘ī, an-Nawawi, al-Juwainī, al-Ghazāli, as-Subki, as-Suyūthi, dll.

Maka, ketika para ulama Mujtahidīn sejak awal, dalam pembacaan mereka terhadap al-Quran dan hadis, dengan metodologi ilmiah yang terstruktur dan terukur, selalu sampai pada kesimpulan bahwa zina itu haram, berarti kesimpulan tersebut bukan opini yang muncul dari seorang doktor kaleng-kaleng, melainkan kesimpulan ilmiah murni, yang harus diterima oleh siapapun sebagai kebenaran; kebenaran agama dan kebenaran ilmiah sekaligus.

Karena itu saya heran, ketika kemarin banyak orang menolak disertasi doktoral yang kontroversial itu, ternyata ada sebagian netizen berkata, “Kalau memang tidak setuju, bantahlah secara ilmiah”. Maka saya jadi bertanya, apa maksud dari “ilmiah” yang Anda katakan itu? Ketahuilah bahwa hukum haramnya zina itu tidak menjadi standar kebenaran melainkan karena sudah melewati kajian ilmiah seperti saya terangkan di atas. 

Jika semua orang dari berbagai generasi mengukur suatu objek dengan meteran yang sama kemudian sampai pada kesimpulan yang sama, maka meteran dan hasilnya itu sudah pasti menjadi standar kebenaran. Sehingga jika kemudian ada orang baru datang lalu kok menemukan hasil yang berbeda, maka sudah pasti masalahnya terletak pada orang itu. Bukan pada semua orang, juga bukan pada kesimpulan mereka.
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search